Dialog Publik, Politik Etik Muhammadiyah
BojonegoroMu.com
Ahad (29/4/2018), sekitar 200 orang yang terdiri dari pimpinan Daerah Muhammadiyah, ketua dan sekretaris Lembaga dan Majelis serta ketua dan sekretaris Orto Daerah, juga ketua dan sekretaris Cabang Muhammadiyah se Kabupaten Bojonegoro melakukan kegiatan bersama yang dikemas dalam “Dialog Publik”. Acara yang dihadiri oleh Suli Daim, M.Hum, ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jawa Timur dan Kang Yoto selaku nara sumber itu bertemakan “Politik Etik Muhammadiyah, Dinamika Pemikiran dan Implementasi” berlangsung gayeng dari pukul 08.00 sampai 11.00 WIB.
Acara yang merupakan rangkaian dari kegiatan dialog publik yang diselenggaran oleh PWM bulan pebruari lalu, tidak lain untuk mencari bagaimana Muhammadiyah secara institusi mampu berperan aktif dalam melahirkan kebijakan publik yang adil dan mensejahterakan khususnya di tingkat lokal Bojonegoro, yang tentu hanya bisa dilakukan ketika Muhammadiyah mampu merebut kekuasaan politik. Bagi Muhammadiyah politik etik (politik nilai) yaitu politik kebangsaan dan kerakyatan akan dapat diperankan manakala politik “kekuasaan” dapat direbut. Mengapa harus dilakukan? Karena itu adalah bagian dari kompetisi hidup.
Kang Suli Daim, mengawali dengan pernyataan Kholifah Ali ibn Abi Tholib “bahwa kedhaliman bukan karena banyaknya orang yang jahat, tetapi lebih karena banyaknya orang baik yang diam. Beliau juga mengutip pernyataan Presiden Turki Racep Tayyib Erdogen, bahwa negara akan dikuasai oleh orang-orang jahat, jika orang-orang baik tidak ikut politik. Menyebut pula pernyataan Yusril Izza Mahendra, “segudang kepintaran tak ada harganya jika dibandingkan dengan segenggam kekuasaan”. Menyebut pula pernyataan Amin Rais, “politik tidak bisa dipisahkan dengan agama, karena akan menjadi bringas dan eksploitatif”.
Sementara kang Yoto mengajak warga Muhammadiyah yang hadir untuk mengganti software lama tentang politik untuk ke software baru. Kita tidak boleh lagi memandang pasif tentang politik, karena hakekat politik sesungguhnya adalah publik, yaitu bagaimana publik harus direbut. Menjaga jarak yang sama dengan partai politik dalam perspektif Muhammadiyah, tentu tidak bisa difahami hanya sebagai penonton, tapi harus dimaknai sebagai aktor, yaitu mereka yang bergerak dan ikut berperan dalam pemenangan calon pemimpin.
Ini menjadi penting karena dari sinilah muhammadiyah dapat berperan serta dalam memberikan kontrubusi positif pada arah pembangunan bangsa dan umat, termasuk Bojonegoro. Dengan sedikit jok jok khasnya, ia membaca bahwa keputusan panitia menghadirkan Mas Suli dan saya untuk menjadi nara sumber pagi ini, menandakan bahwa Muhammadiyah telah bergerak pada tataran praktis politis, bukan sekedar filosofis politik. Dapat dimaknai bahwa warga Muhammadiyah tidak hanya cerdas tapi juga cerdik, maka tentu tidak sekedar memilih, tapi juga berupaya untuk menang. Maka tentu gerakan riil, shodaqoh politik, keseriusan peran warga persyarikatan di semua level, struktural, dan sosial adalah jalan pilihan politik muhammadiyah, “politik etik sekaligus politik kekuasaan”, yang disambut sorak sorai yang hadir.
Sementara wakil ketua yang membidangi LHKP, Drs. Sholihikin Jamik, M.Hes mengamini pernyataan Kang Yoto perihal kecerdasan sekaligus kecerdikan Muhammiyah berpolitik. (M Yazid Mar’i)